teori terbentuknya negara pkn

DAFTAR ISI

 

 

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………             i

BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………………………  1

  1. A.    Latar Belakang ……………………………………………………………………………..  1
  2. B.     Rumusan Masalah ………………………………………………………………………….  2

 

BAB II : PEMBAHASAN ………………………………………………………………………  3

  1. A.    Teori Terbentuknya Negara ……………………………………………………………… 3
  2. B.     Teori Negara Menurut Alqur’an ……………………………………………………….. 6
  3. C.    Hubungan Agama dengan Negara …………………………………………………….. 7

 

BAB III : PENUTUP ……………………………………………………………………………… 12

 

  1. A.    Kesimpulan ……………………………………………………………………………………. 12

 

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………….. 13

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Sejak kata “negara” diterima secara umum sebagai pengertian yang menunjukkan organisasi teritorial sesuatu bangsa yang memilki kedaulatan, ia pun mengalami berbagai pemahaman tentang hakikat dirinya.

Negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah argency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi, maupun oleh negara itu sendiri. Dengan demikian ia dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.[1]

Bayangkan, bila suatu kelompok masyarakat tidak mempunyai negara, apa yang akan terjadi? Bagaimana bila tidak ada wilayah, tidak ada pemerintahan, tidak ada kepala negara? Apakah teratur?  Dapatkah mereka menjalankan aturan bersama? Dapatkah mereka melakukan aktivitas hidup dengan tertib?

Tampaknya,  manusia tidak akan dapat hidup dengan teratur tanpa adanya negara. Mereka juga tidak akan hidup tertib dan menjamin keamanan bersama, tanpa adanya negara. Tanpa adanya wilayah, ketertiban umum, bagi masyarakat juga tidak mungkin terjamin.[2]

 

 

 

 

 

  1. B.     Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Apa teori negara?
  2. Bagaimana hubungan negara dengan agama?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.  Teori Terbentuknya Negara
  2. 1.   Teori Kenyataan

Timbulnya suatu negara merupakan soal kenyataan. Apabila pada suatu ketika unsur-unsur negara (wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat) terpenuhi, maka pada saat itu pula negara itu menjadi suatu kenyataan.[3]

  1. 2.   Teori Perjanjian Masyarakat

Teori ini disusun berdasarkan anggapan bahwa sebelum ada negara, manusia hidup sendiri-sendiri dan berpindah-pindah. Pada waktu itu belum ada masyarakat dan peraturan yang mengaturnya sehingga kekacauan mudah terjadi di mana pun dan kapan pun. Teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa Negara di bentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Tanpa peraturan, kehidupan manusia tidak berbeda dengan cara hidup binatang buas, sebagaimana dilukiskan oleh Thomas Hobbes, manusia seakan-akan merupakan bintang dan menjadi mangsa dari manusia yang fisik lebih kuat daripadanya. Keadaan ini dilukiskan dalam peribahasa Latin homo homini lupus. Manusia saling bermusuhan, saling berperang satu melawan yang lain. Keadaan ini dikenal sebagai “ bellum omnium contra omnes” (perang antara semua melawan semua). Bukan perang dalam arti peperangan yang terorganisasikan, tetapi perang dalam arti keadaan bermusuhan yang terus menerus antara individu dan individu lainnya.[4] Teori Perjanjian Masyarakat diungkapkannya dalam buku Leviathan. Ketakutan akan kehidupan berciri survival of the fittest, itulah yang menyadarkan manusia akan kebutuhannya: negara yang diperintah oleh seorang raja yang dapat menghapus rasa takut. Demikianlah akal sehat manusia telah membimbing dambaan suatu kehidupan yang tertib dan tenteram.

 

 

Maka, dibuatlah perjanjian masyarakat (sosial contract). Perjanjian antar kelompok manusia yang melahirkan negara dan perjanjian itu sendiri disebut pactum unions, bersamaan dengan itu terjadi pula perjanjian yang disebut pactum subiectionis yaitu perjanjian antar kelompok manusia dengan penguasa yang diangkat dalam pactum unionis. Isi pactum subiectionis adalah pernyataan penyerahan hak-hak alami kepada penguasa dan berjanji akan taat kepadanya. Penganut teori Perjanjian Masyarakat antara lain: Grotius (1583-1645), John Locke(1632-1704),  Immanuel Kant (1724-1804), Thomas Hobbes (1588-1679), J.J.Rousseau (1712-1778). Ketika menyusun teorinya itu, Thomas Hobbes berpihak kepada Raja Charles I yang sedang berseteru dengan Parlemen. Teorinya itu kemudian digunakan untuk memperkuat kedudukan raja. Maka ia hanya mengakui pactum subiectionis, yaitu pactum yang menyatakan penyerahan seluruh haknya kepada penguasa dan hak yang sudah diserahkan itu tak dapat diminta kembali. Sehubungan dengan itulah Thomas Hobbes menegaskan idealnya bahwa negara seharusnya berbentuk kerajaan mutlak/absolut.[5]

John Locke menyusun teori Perjanjian Masyarakat dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, bersamaan dengan tumbuh kembangnya kaum borjuis (golongan menengah) yang menghendaki perlindungan penguasa atas diri dan kepentingannya. Maka John Locke mendalilkan bahwa dalam pactum subiectionis tidak semua hak manusia diserahkan kepada raja. Seharusnya ada beberapa hak tertentu (yang diberikan alam) tetap melekat padanya. Hak yang tidak diserahkan itu adalah hak azasi manusia yang terdiri: hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Hak-hak itu harus dijamin raja dalam UUD negara. Menurut John Locke, negara sebaiknya berbentuk kerajaan yang berundang-undang dasar atau monarki konstitusional.[6]

Jean Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social berpendapat bahwa setelah menerima mandat dari rakyat, penguasa mengembalikan hak-hak rakyat dalam bentuk hak warga negara (civil rights) Ia juga menyatakan bahwa negara yang terbentuk oleh Perjanjian Masyarakat harus menjamin kebebasan dan persamaan. Penguasa sekadar wakil rakyat, dibentuk berdasarkan kehendak rakyat (volonte general). Maka, apabila tidak mampu menjamin kebebasan dan persamaan, penguasa itu dapat diganti. Mengenai kebenaran tentang terbentuknya negara oleh Perjanjian Masyarakat itu, para penyusun teorinya sendiri berbeda pendapat. Grotius menganggap bahwa Perjanjian Masyarakat adalah kenyataan sejarah, sedangkan Hobbes, Locke, Kant,dan Rousseau menganggapnya sekadar khayalan logis.

  1. 3.    Teori Ketuhanan

Timbulnya negara itu adalah atas kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak-Nya. Friederich Julius Stahl (1802-1861) menyatakan bahwa negara tumbuh secara berangsur-angsur melaui proses evolusi, mulai dari keluarga, menjadi bangsa dan kemudian menjadi negara. Negara bukan tumbuh disebabkan berkumpulnya kekuatan dari luar, melainkan karena perkembangan dari dalam. Ia tidak tumbuh disebabkan kehendak manusia, melainkan kehendak Tuhan,´ katanya. Demikian pada umumnya negara mengakui bahwa selain merupakan hasil perjuangan atau revolusi, terbentuknya negara adalah karunia atau kehendak Tuhan. Ciri negara yang menganut teori Ketuhanan dapat dilihat pada UUD berbagai negara yang menganut teori Ketuhanan dapat dilihat pada UUD berbagai negara yang antar lain mencatumkan frasa: Berkat rahmat Tuhan atau By the grace of God.[7]

  1. 4.    Teori Kekuatan

Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa negara yang pertama adalah hasil dari dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap sebagai faktor tunggal yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pembentuk negara. [8]

  1. 5.    Teori alamiah

Teori alamiah (natural theory) tentang asal-mula negara pertama-tama di kemukakan oleh Aristoteles. Baginya, negara adalah ciptaan alam. Kodrat manusia membenarkan adanya negara, karena manusia pertama-tama adalah makhluk politik (zoon politicon) dan baru kemudian makhluk sosial. Karena kodrat itu, manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara.[9]

 

 

B. TEORI NEGARA MENURUT QUR`AN

1. Negara sebagai Penggolongan Umat Manusia

Manusia selalu hidup dalam golongan, ada golongan yang bernama keluarga, tetangga, lorong kampung, daerah dan negara. Semua golongan tempat manusia menjadi sebagai anggotanya tidak dibuat atau diciptakan oleh manusia. Golongan-golongan yang beraneka ragam itu terjadi karena watak manusia itu sendiri. Hukum Qur’an mengatakan bahwa golongan itu sudah dijadikan oleh Tuhan dan sudah menjadi sunnah-Nya dalam kehidupan manusia. Dengan demikian maka Qur’an menolak teori perjanjian masyarakat dalam pembentukan Negara seperti yang dikemukakan oleh Hobbes dan Locke. Hukum Qur’an juga menolak teori teokrasi dalam terbentuknya Negara.[10]

2. Kekuasaan dalam Negara

Mengenai timbulnya kekuasaan dalam Negara Qur’an mempunyai pendirian yang berlainan dari teori-teori kekuasaan dalam Negara seperti berikut :

a. Hobbes dengan teori perjanjian masyarakat, mengatakan bahwa kekuasaan yang ada dalam negara itu adalah kekuasaan yang diberikan oleh orang ramai kepada pemegang kekuasaan itu (homo homini lupus) dalam teorinya Hobbes mengatakan bahwa manusia memakai manusia untuk menegakkan keamanan dan ketertiban.

b. Dan Lock mengatakan bahwa kekuasaan yang diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam Negara itu adalah kekuasaan untuk mejamin keselamatan jiwa, kemerdekaan dan harta benda setiap orang.

c. Rousseau mengatakan bahwa yang mempunyai kekuasaan itu bukanlan yang memegang kekuasaan dalam negara. Namun yang mempunyai kekuasaan itu adalah rakyat yang telah mengadakan perjanjian masyarakat. Pemegang kekuasaan hanyalah pelaksana belaka dari kekuasaan atas nama rakyat, yang mempunyai hak untuk membatasinya, merubahnya dan mencabut apabila dikehendakinya.

Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia itu dijadikan sebagai penguasa dalam negara, dan Tuhan menjadikan segolongan manusia mempunyai kelebihan dari golongan yang lain. Kelebihan itu dapat berupa kelebihan dalam keagungan darah dan keturunan (zaman feodalisme dan monarchi absolute) Kelebihan dalam soal keagamaan (abad pertengahan) kelebihan dalam bidang kekayaan (masa kapitalisme) kelebihan dalam kekuatan politik (pemerintahan parlementer). Dan harus pula kita ketahui bahwa kelebihan itu tidak hanya pada hal-hal yang baik namun juga dalam arti kata yang buruk seperti kelebihan dalam kelicinan dan kancil. Ini bisa kita lihat dalam pertumbuhan kekuasaan dalam Negara semenjak terjadinya Negara dalam masyarakat umat manusa bahwa, yang memegang kekuasaan itu selalu golongan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan golongan yang lain.[11]

  1. C.  Hubungan Agama dengan  Negara

Dikalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa eksistensi negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat. Artinya menurut, Hussein Muhammad, negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.[12]

Pada hakekatnya, negara merupakan suatu persekutuan  hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horisontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri ( Kaelani,1999:91-93).

Perlu disadari bahwa manusia sebagai warga negara, adalah juga makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai kebebasan untuk memenuhi dan memanifestasikan kodrat kemanusiaannya. Namun, sebagai makhluk Tuhan, manusia juga mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada-Nya dalam bentuk penyembahan atau ibadah yang diajarkan oleh agama atau keyakinan yang dianutnya. Hal-hal yang berkaitan dengan negara adalah manifestasi dari  kesepakatan manusia. Sedangkan hubungan dengan Tuhan yang tertuang dalam ajaran agama adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karena itu ada benang emas yang berhubungan antara agama dan negara.

Berdasarkan uaraian di atas, konsep hubungan negara dan agama sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing. Keyakinan manusia sangat mempengaruhi konsep hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia. Berikut dapat di uraikan beberapa contoh perbedaan konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran atau paham.[13]

 

  1. 1.         Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi.

Dalam perkembangan, paham teokrasi terbagi kedalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.

Sementara menurut sistem pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala yang memiliki otoritas atas nama Tuhan, kepala Negara atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.[14]

Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara dapat menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.  Dalam pemerintahan Teokrasi tidak langsung, bahwa sistem dan norma-norma dalam negara dirumuskan berdasarkan firman-firman Tuhan. Dengan demikian, negara menyatu dengan agama. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Dari apa yang dipaparkan di atas dapat dikatakan bahwa dalam praktik kenegaraan teoraksi terdapat dua macam, yaitu teokrasi langsung dan teokrasi tidak langsung. Karena perbedaan paham ini. Maka praktik pemerintahan kedua jenis paham teokrasi inipun berbeda pula.[15]

 

  1. 2.         Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Sekuler

Selain paham teokrasi, terdapat pula paham sekuler dalam praktik pemerintahan dalam kaitan hubungan agama dan Negara. Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama hubungan agama dan Negara. Dalam negara sekuler, tidak ada hubungan antar system kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.[16]

Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan Negara intervensif dalam urusan agama.

  1. 3.         Hubungan Agama dan Negara menurut Paham Komunisme

Paham komunisme memandang hakikat hubungan Negara dan agama berdasarkan pada filosofi materialisme – dialektis dan materialisme – historis. Paham ini menimbulkan paham atheis. Paham yang dipeolopori oleh Karl Marx ini, memandang agama sebagai candu masyarakat. Menurutnya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama, dalam menemukan dirinya sendiri.

Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama merupakan keluhan makhluk tertindas dalam Negara adalah materi, karena manusia sendiri pada hakekatnya adalah materi.[17]

 

 

  1. 4.      Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam

Tentang hubungan agama dan negara dalam islam, menurut Munawir Sjadzali, ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang menganggap bahwa islam adalah agama paripurna, yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara. Oleh karena itu agama tak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama, serta sebaliknya.

Aliran kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad tidak punya misi untuk mendirikan negara.

Aliran ketiga, berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segala-galanya, tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat, termasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat Islam harus mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai etika yang diajarkan secara garis besar oleh Islam.[18]

Sementara itu Hussein Muhammad menyebutkan bahwa dalam islam ada dua model hubungan agama dan negara. Model pertama, ia sebut sebagai  hubungan integralistik, dan kedua ia sebut hubungan simiosis-mutualistik.

Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, di mana agama dan negara merupakan dua  lembaga yang menyatu (integral). Ini juga memeberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep ini sama dengan konsep teokrasi.

Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model hubungan agama dan segala model ini, masih menurut Hussein Muhammad, menegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik. Hal ini hanya dapat telaksana bila ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam negara.

Teori seperti ini juga dikemukakan oleh pemikir politik lslam lainnya, seperti Al-Ghazali, dan Al-Mawardi. Dalam bahasa teori politiknya yang amat terkenal, Al-Mawardi mengungkapkan  bahwa “negara dibangun untuk menggantikan tugas kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Bagi tokoh ini, kekuasaan Tuhan adalah mutlak dan harus dijadikan landasan kekuasaan negara.

Selanjutnya, Al-Ghazali dalam bukunya Aliqtishad fi ali’ tiqad, mengatakan bahwa agama dan negara adalah dua anak kembar. Agama adalah dasar, dan penguasa/kekuasaan negara adalah penjaga. Segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur, dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan sia-sia lebih lanjut Al-Ghazali menyimpulkan bahwa sultan (pemimpin negara/kekuasaan), adalah keniscayaan dalam sistem agama. Sementara itu sistem agama adalah keharusan mutlak dalam mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah maksud para Nabi diutus Tuhan. Maka adanya pemimpin negara merupakan keharusan agama yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.[19]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.       Kesimpulan

 

Dari berbagai pokok pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

  • Ø Teori negara mengenai teori terbentuknya negara terdiri dari, teori kenyataan, teori perjanjian masyarakat, teori kenyataan, teori kekuatan dan teori alamiah.  Selanjtnya teori negara menurut Qur’an terbagi menjadi dua yaitu negara sebagai penggolongan umat manusia dan kekuasan dalam negara.
  • Hubungan Agama dengan Negara, menurut Hussein Muhammad, negara diperlukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat manusia secara bersama-sama. Negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat. Sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Kemudian  dalam konsep hubungan agama dan negara terdapat beberapa aliran atau paham diantaranya hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi, hubungan agama dan negara menurut paham sekuler, hubungan agama dan negara menurut paham komunisme dan hubungan agama dan negara menurut Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ubaidillah, A,….(et al.), Pendidikan Kewargaan Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), cet. I.

 

Rosyada, Dede,…(et al.), Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Denokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), cet. I.

 

http://www.scribd.com/doc/47869739/TEORI-TERBENTUKNYA-NEGARA-17-03-2012.

 

http://dhymas.wordpress.com/teori-negara-menurut-quran/-16-03-2012.

 

http://makalah85.blogspot.com/2008/11/hubungan-antara-negara-dan-agama.html-17-03-12.

 

 

 


[1] A. Ubaidillah Pendidikan Kewarganegaraan demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, (Jakarta: IAN Jakarta Press, 2000), cet. I, hlm. 33.

[2] Ibid., hlm. 124.

[4] Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), cet. I, hlm. 48.

[5] Ibid., hlm. 49.

[6] Ibid., hlm. 51.

[8] Dede Rosyada, op.cit., hlm. 54.

[9] A. Ubaidillah, op.cit., hlm. 45-46.

[12] A. Ubaidillah, op.cit., hlm. 124.

[13] A. Ubaidillah, op.cit., hlm. 125.

[15] A. Ubadillah, op.cit., hlm. 126.

[16] Dede Rosyada, op.cit., hlm. 60.

[17] Dede Rosyada, op.cit., hlm. 60-61.

[18] A. Ubaidillah, op.cit., hlm. 128.

[19] A. Ubaidillah, op.cit., hlm. 129.

Tinggalkan komentar